Rabu, 08 Desember 2010

Novel “Bintang Anak Tuhan”

Sebuah nukilan wajah Human Agony
Prof. Dr. E. Hayatullah Al Rasyid
http://oase.kompas.com/

Benar, tak banyak potret realitas keterisoliran suatu komunitas ‘sakit’ dan nyaris benar-benar tersingkir dan disingkirkan nilai-nilai kemanusiaannya. Jika pun ada justru malah melahirkan semacam disintegritas sosial yang sangat tajam, termasuk ‘cap busuk’, pelcuran dan pergaulan bebas – kemudian berujung pada sikap jijik dan momok moral serta kesehatan.
Entah sadar atau tidak, entah hanya bersandar pada gencarnya isu dan informasi sekilas atau hanya bersandar pada pengetahuan yang didapat dari ‘kebenaran katanya’, sehingga sebagian besar masyarakat menganggap atau meyakini, bahwa HIV AID, penyakit paling iblis ini bermula dari hubungan seks bebas. Padahal untuk kasus moral atau susila ini sama sekali bukan barang baru di dunia seks. Dari jaman ke jaman, bahkan pada jaman nabi pun, pergaulan seks bebas (sodomi), sex abuse dan sejenisnya sudah begitu purba. Pertanyaannya, kenapa HIV AID baru muncul pada paruh akhir abad 21?
Petaka Ethiopia
Lebih dari satu windu negeri gurun di Afrika ini embun pun nyaris tak turun – apalagi hujan. Kelaparan bagai gemuruh suara burung gagak yang menyuarakan kematian dan kelaparan. Dari sini sesungguhnya virus yang menghancurkan system kekebalan tubuh itu berasal. Dari hancurnya seluruh system biologi yang awalnya bermuara dari wabah hypocalemi alias wabah kelaparan – lantas virus iblis yang bernama HIV itu lahir dan migrasi ke seluruh dunia. Jadi, sesungguhnya virus yang lebih dekat dengan fenomena sampah seks ini bukan dari hubungan seks bebas itu sendiri. Penularannya memang lebih mengarah ke hubungan seks. Ciuman saling nelan ludah atau gigitan sampai berdarah, benar, virus momok itu menular.
Jika pengetahuan atau informasi lahirnya virus dan bukan system penularannya disampaikan secara benar, mungkin menganiayaan kemanusiaan terhadap penderita HIV tidak seganas dan semengerikan seperti yang kini terjadi, khususnya di negeri ini. Jika mau berbanding terbalik dengan keganasan penyakit yang juga sebenaranya sangat mematikan, hepatitis sebuah misal, justru virus yang menyerang hati ini jauh lebih mudah menular kepada orang lain. Tempat duduk penderita hepatitis saja bisa menginfeksi tubuh orang lain. Ini sebuah realita yang harus dicerdasi oleh siapa pun.
Saya jadi ingat sekian tahun sebelum masehi, ada suatu penyakit yang dianggap sebagai setan. Penderitanya dikucilkan bahkan bisa dianiaya beramai-ramai dan tidak dianggap sebagai manusia lagi, di samping sebagai suatu kutukan, yakni penyakit lepra. Untuk jenis penyakit ini selain tubuh penderitanya rusak, tulang-tulangnya bisa lepas, namun juga bersandar pada nilai-nilai mitos.
Bercakap-cakap Secara Langsung
Membaca Bintang Anak Tuhan, sesungguhnya novel ini tidak sedang berkisah tentang tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Bu Nur (pekerja kemanusiaan pada panti asuhan) Hanum (tokoh sentral), Bintang (anak Hanum), dokter Luhur, semua seperti sedang berbincang dengan pembaca. Ini salah satu pembeda dari novel sebelumnya. Meski naratif, tanpa sadar secara emosi (bukan empati), keterlibatan emosi itu cukup tandas, sehingga novel ini nyaris tidak memberi jarak antara pembaca dan penulisnya. Bahasa rasa dan batin seorang anak dan ibu, bahasa seorang perempuan dalam berbagai problematika keluarga dan kemanusiaan (fitrah) perempuan (bukan hanya bertumpu pada penyakit yang mematikan, HIV), namun lebih kepada perasaan dan sikap hidup secara general, umum, bahkan universal, ketika wanita harus dihadapkan pada jalau macet total, stagnasi, dalam memahami makna hidup dan kehidupan dan sejumlah masalah yang menggerus jiwa.
Hidup terasa terasing pada diri sendiri. Menjadi pengemis kasih sayang dan perhatian atau sedikit pengertian atas sebuah nilai harga diri kemanusiaan itu sendiri. Sesekali penulis coba menggali dan memadankan suatu peristiwa batin, termasuk daya yang hendak dipacu, menyemangati diri tanpa sesiapa, ia mengutip stigma-stigma bijak dari tokoh2 dunia, baik sosial, psikologi, politik serta napak tilas perjuangan para penderita HIV AID. Pengayaan pengetahuan yang referensip inilah yang makin mampu membangun suspensi pembaca (dengan tanpa merasa dipaksa untuk ikut terlibat dalam arus dinamika non mellow total).
Pergolakan seorang anak yang ingin mengatahui wajah kedua orang tuanya, adakah bisa kita bayangkan, bagaimana seorsang buta yang ingin mengetahui wajah sendiri saja tak mampu ketika mau meraba wujud wajah dengan meraba – sedang si buta tak memiliki kedua tangan? Ruang kepedihan yang tak mampu diungkai dengan kalimat inilah – Kirana coba memberikan nuansa-nuansa prasa dan metafora dan diksi yang nyaris banjir di novelnya kali ini. Novel yang prosais dan puitikal ini memang bukan hal yang baru. Pun demikian, pergolakan demi pergolakan Kirana dalam memahami perjalanannya sendiri – ia telah mampu mengemas sejuimlah pertikaian batin kewanitaannya dan sekaligus seorang ibu dari anak-anaknya, dari sana kejujuran analisa termikal kehidupan tumpah ruah atau bahkan ditumpahkan seluruhnya.
Bukan Hanya Sekadar HIV
HIV AID memang mulai sunyi dalam bincang, bahkan nyaris tak tersentuh lagi oleh media apa saja. Petaka kemanusiaan ini telah tertalan oleh riuh politik dan korupsi. Novel Bintang Anak Tuhan ini sedikitnya telah mampui menggugah kesadaran, bagaimana sesungguhnya martabat seorang penderita HIV dalam menyelesaikan sisa hidupnya yang suatu saat akan merenggutnya? Sebut saja, penderita HIV adalah hakikatnya sudah mati sebelum ajal..
Di sisi lain, menyimak novel ini, sesungguhnya tidak hanya menyoal penderita HIV, namun menuturkan perjuangan wanita, perasaan wanita, integritas moral sosial,m kepedulian dan kesadaran normative kebersamaan tanpa menyaksikan bentuk dan wujud keberadaannya.
Novel ini cukup menarik untuk dibaca oleh siapa saja – juga tak membatasi usia pembacanya.
(Prof. DR. E. Hayatullah al Rasyid)
Tangerang, 26 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar